Nama : Riska Latifatul Husna
Kelas : PGMI 1E
Nim : 2817133159
Judul
Buku : Buku Panduan
Internalisasi Pendidikan Karakter di sekolah
Penulis
: Jamal Ma’mur
Asmani
Penerbit
: DIVA Press
(Anggota IKAPI) Jogjakarta
Tahun
Terbit : September
2011
Cetakan :
Pertama
Warna
sampul : Putih
Panjang
: ± 20 cm
Lebar
: ± 14 cm
Tebal
: ± 1 cm
Jumlah
Halaman : 203 halaman
ISBN : 978-602-978-841-9
Harga : Rp.30.000,-
Karakter yang
kuat akan membentuk mental yang kuat. Sedangkan mental yang kuat akan melahirkan
spirit yang kuat. Karakter yang kuat merupakan prasyarat untuk menjadi seorang
pemenang dalam medan kompetisi pada era hiperkompetitif ini.
Adapun bagi seseorang yang lemah
mentalnya, ia hanya menjadi pecundang, teralienasi, dan termarginalkan dalam
proses kompetisi global yang ketat. Oleh sebab itu, implementasi pendidikan
karakter menjadi keniscayaan untuk membangun bangsa Indonesia yang bermental
pemenang di masa yang akan datang. Buku berjudul “Buku Panduan Internalisasi Pendidikan Karakter di sekolah” ini
sangat bermanfaat untuk mengetahui peran guru dalam pendidikan karakter.
Betapa pentingnya pendidikan
karakter di sekolah karena menurut Ali Ibrahim akbar, selama ini praktik
pendidikan di Indonesia cenderung berorientasi pada pendidikan berbasis hard
skill (keterampilan teknis), yang lebih bersifat mengembangkan intelegence
quotient (IQ). Sedangkan kemampuan soft skill yang tertuang dalam emotional
intelegence (EQ) dan spiritual intelegence (SQ) sangat kurang.
Faktor lainnya yang menjadikan
pendidikan karakter sangat penting untuk dipraktikkan adalah adanya problem
akut yang menimpa bangsa ini. Karakter generasi muda sudah berada pada titik
yang yang sangat mengkhawatirkan. Moralitas bangsa ini sudah lepas dari norma,
etika agama, dan budaya luhur. Seks bebas menjadi fenomena tanpa bisa dibendung
sedikitpun. Dalam hal ini penulis menyajikan beberapa fakta hasil penelitian,
misalnya sebanyak 42,3% pelajar di Cianjur telah berhubungan seks pranikah (Waspada,
edisi 11 Februari, 2007). Selain itu, penelitian yang dilakukan di lima kota di
tanah air sebanyak 16,35% dari 1.388 responden remaja mengaku telah melakukan
hubungan seks di luar nikah atau seks bebas. Sebesar 42,5 % responden di Kupang
Nusa Tenggara Timur (NTT) melakukan hubungan seks di luar nikah. Sedangkan 17%
responden di Palembang, Sumatra Selatan, Tasik Malaya, dan Jawa Barat juga
mengaku melakukan tindakan yang sama. Bahkan di kota-kota besar lainnya,
seperti Medan, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya juga sangat tinggi,
bahkan melebihi 50%. Yang lebih mengejutkan untuk kota Yogyakarta, sekitr
97,05% remaja di sana telah melakukana seks bebas.
Pendidikan karakter membutuhkan
proses atau tahapan secara sistematis dan gradual sesuai dengan pertumbuhan dan
perkembangan anak didik. Atas dasar itulah menurut penulis, karakter harus
dikembangkan melalui tahap pengetahuan (knowing), pelaksanaan (acting),
dan kebiasaan (habit). Sebagaimana pendapat M. Furqon Hidayatullah yang
mengklasifikasikan pendidikan karakter dalam beberapa tahap, berdasarkan hadits
Rosulullah SAW. Tahap-tahap tersebut adalah a). tahap penanam adab (umur 5-6
tahun), b). tahap penanaman tanggung jawab (umur 7-8 tahun), c). tahap
penanaman kepedulian (umur 9-10 tahun), d). tahap penanaman kemandirian (umur
11-12 tahun), dan e). tahap penanaman pentingnya bermasyarakat ( umur 13 tahun
ke atas).
Akhirnya, yang menjadi kunci
internalisasi pendidikan karakter kepada peserta didik adalah peranan guru.
Guru merupakan sosok yang menjadi idola bagi anak didik. Keberadaannya sebagai
jantung pendidikan tidak bisa dipungkiri. Baik atau buruknya pendidikan sangat
bergantung pada sosok yang satu ini. Segala upaya sudah harus dilaksanakan
untuk membekali guru dalam menjalankan fungsinya sebagai aktor penggerak
sejarah peradaban manusia dengan melahirkan kader-kader masa depan bangsa yang
berkualitas paripurna, baik sisi akademik, afektif, dan psikomotorik. Menurut
E. Mulyasa, fungsi guru itu bersifat multifungsi. Ia tidak hanya sebagai
pendidik, tapi juga sebagai pengajar, pembimbing, pelatih, penasihat, pembaru,
model dan teladan, pribadi, peneliti, pendorong kreativitas, pembangkit
pandangan, pekerja rutin, pemindah kemah, pembawa cerita, emansipator,
evaluator, pengawet, dan kulminator. (Mulyasa, 2005;37-64).
Menurut Sri Endang Susetiyawati yang
dikutip penulis, dalam konteks sistem pendidikan di sekolah sekurang-kurangnya
pendidikan karakter harus memperhatikan tiga hal. Pertama, guru harus
ditempatkan dan dikembalikan pada hakikatnya sebagi pendidik, bukan sebagai
pengajar semata yang hanya mentransfer pengetahuan di ruang kelas. Kedua,
harus diikuti dengan sistem pembelajaran yang sungguh-sungguh menempatkan sosok
guru sebagai orang yang paling tahu tentang kondisi dan perkembangan anak
didiknya khususnya yang berkaitan dengan masalah kepribadian atau karakter
siswa tersebut. Ketiga, perlu digalakkan kembali sistem evaluasi yang
lebih menitik beratkan pada penilaian aspek afektif.
Selain menyajikan data-data hasil
penelitian para pakar pendidikan karakter yang akurat dan didukung dengan
referensi yang baik, penulis juga memudahkan pembaca untuk menemukan inti
materi karena penulis memberi bingkai bagian-bagian yang penting secara khusus
sehingga pembaca bisa mengetahui hal-hal yang bersifat prinsip. Kesatuan dan
kepaduan antar bab menjadikan buku ini sangat lengkap dalam pembahasannya.
Kalimat yang digunakan penulis dalam buku ini sangat mudah untuk dipahami.
Pada bagian terakhir buku ini,
penulis menyajikan karakter-karakter tokoh-tokoh yang patut diteladani.
Sayangnya, beberapa tokoh yang disajikan hanya terkenal di daerah dan kalangan
tertentu saja sehingga tidak banyak orang yang mengenal tokoh tersebut.
Meski adanya sedikit kekurangan,
buku ini adalah salah satu buku yang sangat penting untuk dimiliki para
pendidik karena di saat terjadinya kegalauan dunia pendidikan dalam menanamkan
karakter pada peserta didik, buku ini memberikan panduan dan langkah-langkah
tepat dalam menginternalisasikan pendidikan karakter di sekolah.
bagus banget ...... :D
BalasHapus